Pernah mendengar bunyi kodok di malam hari setelah hujan datang mengahampiri bumi? Ngrrrrk nggerrkk begitulah bunyinya dalam pendengaran gue. Suara mereka cukup untuk menemani malam yang gue lalui menjelang bertemu Sang Awan dan Matahari esok hari. Hei, lihatlah wajahku yang penuh dengan lukisan senyuman (palsu) yang tergambar di raut wajahku yang bulat tak menentu. Terkadang wajah ini abstrak, kadang bulat, kadang malah lucu sekali. Hehehe.
Dalam riuh ramainya nyanyian para kodok di luar sana (karena mereka gak serumah sama gue), akhirnya membantu gue menuangkan sepercik kisah percintaan yang kembali pada tahap "Kasmaran Tidak Tak Tentu". Dalam sekejap gue bisa dibuatnya tersenyum (asli) tanpa henti, lalu beberapa detik kemudian dia berhasil membuat hati gue jadi menyerah dengan keadaan.
Entah apa yang merasuki hati dan pikiran gue saat mulai merangkai kata demi kata dalam blog ini. Yang jelas, gue selalu menekankan bahwa ini adalah tentang apa yang terjadi di suatu sisi kehidupan Langit.
Gue hanya Langit yang selalu berusaha untuk tetep ada selagi kiamat belum memisahkan gue dengan Awan. Tapi terkadang Awan pergi menjauh, mencari sisi Langit yang lain, terkadang malah berpindah lebih jauh lagi, dengan jarak yang makin tak terkira, lagi dan lagi. Gue gak punya kekuatan ajaib seperti tongkat ibu peri ataupun kekuatan luar biasa seperti Dimas Kanjeng yang bisa membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. *Dimas Kanjeng = Dukun. Gue bisa dengan segera berdoa kepada Tuhan. Tapi pertanyaannya adalah apakah Tuhan langsung mendengarkan dan mengabulkan doa gue yang hina ini? Apalagi doa untuk dia yang memang belum benar benar menjadi Muhrim gue. Mungkin Tuhan akan memberikan jalan keluar bersyarat bagi gue.
Di antara jeritan suara kodok malam ini, tampaknya jeritan suara hati gue lebih luar biasa menggema dibandingkan mereka. Hati gue merasa sepertinya gue bener bener gak bisa apa apa. Gue adalah seorang yang tidak berdaya guna untuk membuat seseorang merasa bahagia bersama gue, merasa dianggap ada, merasa tenang dan nyaman, merasa dihargai, ataupun merasa bangga memiliki gue. Tidak sama sekali. Karna gue hanyalah Langit yang tanpa hiasan apapun dengan satu warna. Tak seperti Awan yang memang bisa berubah warna ketika matahari, pelangi, bulan, dan bintang menemani. Jangankan membuatnya bahagia, untuk memberikan kenyamanan dan ketenangan saja terkadang aku tak mampu.
Apa? Kamu mempertanyakan mengapa gue berkata seperti ini? Ini gue ungkapkan bukan tanpa pengalaman, bukan tanpa kisah, dan bukan tanpa riset. Berdasarkan hasil observasi yang sudah gue jalani, ternyata hampir 78% benar bahwa gue hampir termasuk dalam kategori bukan siapa siapa dalam kisah ini. Dia yang lain adalah "siapa siapa" yang sesungguhnya.
Tak sedikit waktu yang gue gunakan untuk berpikir dan mempertanyakan sebenarnya apa yang terjadi dan siapa diri gue untuknya. Tapi selalu saja diri gue yang naif ini bilang : "Tenang, lo sangat berarti bagi dia, lo gak usah pikirin dia cinta atau gak sama lo, dia sayang atau gak, dia nyaman atau gak, dia beneran atau gak dalam apapun janjinya. Yang penting sekarang lo lakuin yang terbaik buat dia dan buat dia bahagia. Usaha lo harus lebih maksimal biar bisa dapetin Hati, cinta tulus, kasih sayang, dan dirinya seutuhnya. Jika ternyata apa yang lo lakuin disia siakan, lo jangan pernah menyianyiakan dia balik. Biarkan itu terjadi dan selesai dengan sendirinya. Toh Tuhan sudah mengatur dimana dan kapan lo bakal ketemu jodoh lo sesungguhnya kok."
Gimana?? Naif kan gue? Iya dong. Sebisa mungkin gue berusaha membohongi diri gue sendiri dan hati nurani gue. Gue gak pernah bisa mengakui dan jujur dengan hati kecil gue bahwa sesungguhnya saat ini hati gue menangis. Menangis dengan kapasitas air mata yang lebih dari biasanya. Atau jika tangisan gue memiliki 7 level, maka ini level ke 5 (dimana tidak ada air mata namun isakan ada).
Hei Langit!!!
Jika aku memberitahumu tentang perasaan dan keinginanku, apakah kau akan memaklumi dan merubah sikapmu padaku? Maukah kau benar benar ikhlas memberikan hatimu dan menjatuhkan jangkarmu di tempatku? Bersediakah kamu?
Hahaha, mungkin tidak. Karna gue tau, setelah membaca dan mengingat semuanya, gue prediksikan bahwa lo bakal marahin gue, kecewa sama gue, muak dengan perlakuan gue, bosen liat tingkah laku gue, dan abis itu benci deh sama gue. Ya kan?? Tapi ada satu hal yang paling gue takutkan terjadi setelahnya. Gue takut lo pergi dari hidup gue. Gimana enggak takut coba? Lo kan hampir sangat sering sekali mengeluarkan kata kata yang sangat menyakitkan ini ke diri gue yang buluk ini. Tapi gue udah terlanjur cinta siih, makanya gue berusaha minta maaf, pertahanin, dan tetap menginginkan lo ada di hidup gue. Lo mau bilang gue bodoh? Silahkan, gue gak larang.
Sekarang dalam waktu hampir 500 hari kita, gue selalu lagi lagi ditimpa kesedihan yang cukup buat ngilangin nafsu makan gue dan membut waktu gue untuk menulis di buku harian semakin banyak, seperti malam ini. Di jam 23:29 ini gue memutuskan untuk bertahan menuliskan kisah kisah klasih yang gue jalani. Demi lo yang mungkin bersedia membaca blog antah berantah gue ini.
Kesedihan yang gue alami sedikit banyak akan gue rangkum dalam kisah hujan sore tadi.
Beberapa hari ini lo selalu memberikan tanda bahwa perasaan lo sedang gundah gulana. Lewat foto dan updatean status yang lo lakukan sebenarnya cukup untuk membuatku penasaran dan bertanya ada apa dan apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kau seperti ini? Tapi hari demi hari gue tahan. Menahan lagi, dan lagi. (Bukan nahan yang aneh aneh dipikiran lo ya 😆😆).
Hingga hari selanjutnya kau masih begitu, dan akhirnya hari itu gue putuskan untuk menanyakan apa yang membuatmu begini? Dan kau mengatakan bahwa " ada yang mengatakan padaku bahwa wajahku tampak memiliki kesedihan dan menyimpan beban meskipun aku tertawa bersama". Aku bertanya siapa yang mengatakannya dan ada apa sebenarnya, tapi kau hanya menjawab "jangan tanyakan padaku, aku tak tau kenapa ini terjadi. Tolong jangan bahas ini. Aku tak ingin membahasnya."
Sontak gue langsung menerjemahkan maksud perkataannya. Dan akhirnya membuat gue menyerah untuk bertanya lagi tentang hal yang terjadi. Mungkin saja dia belum siap untuk memberikan kepercayaan pada gue untuk berbagi dan menceritakan beban yang dia miliki.
Hingga detik ini, gue berpikir, siapa gue sebenernya buat lo? Apa gue bagi lo? Seberapa penting hubungan ini buat lo? Dan apakah selama ini lo sudah benar benar mempercayakan gue untuk menjadi seseorang untuk pendaratan cinta lo?.
Gue sakit Waan, gue sakiit liat lo begini. Gue berusaha untuk menahan diri untuk tidak bertanya saat gue hanya bisa mengobrol dengan lo via medsos. Karna gue berpikir, mungkin nanti saat bertemu langsung kau akan mengatakannya dan bersedia mempercayakan pada diri gue untuk berbagi tempat untuk bercerita. Tapi entahlah, besok jika benar kita bertemu, gue harap kau bersedia menjadi Si Penyair yang bersedia berbagi kisah dengan si Penyanjung.
Dan kini gue mulai kebingungan mengungkapkan keadaan hati gue. Jadi gue harap mengertilah, percaya ke gue. Semoga ini gak bikin amarah lo meledak ledak dan malah membenci gue setelahnya.
Terimakasih sudah mempercayakan medsos, dp, dan pm yang lo punya. Maafkan gue yang juga hanya mampu melukis pada kertas elektronik ini. Ini gue lakukan hanya karna gue belum menemukan waktu yang tepat untuk memberanikan diri menanyakan keadaan sesungguhnya dan belum menemukan kalimat yang tepat agar bisa membuat lo tenang dan bahagia bersama gue.
Rasa sayang dan cinta gue sudah tak lagi sama, karna jika gue katakan sejujurnya, sebenarnya kini perasaan gue semakin dalam buat lo. Asal lo tau itu.
Terimakasih masih menjalani.
*Tentang Langit dan Awan yang berada di naungan yang sama namun jarak hati yang berbeda.
*Masih cerita fiksi yaaa, boleh baper asal komen dan sharing bareng gue.
*Thanks for reading but not cheating my idea.
*Love you readers
* ASSALAMUALAIKUM
#Tidak sedang mendengarkan lagu apapun, takut baper kalo muter lagu galau.
# Dikisahkan pada 23:52 WIB, 14/10/16
# Bersama suara kodok dan kipas angin
#Di tanah tanpa Gunung dan hanya ada 1 Bukit.