Powered By Blogger

Kamis, 27 Maret 2014

Watchdog dan Lapdog



Kelompok        : 4 ( empat )
Nama                 : Shinta Sharlindra (210103130062)
                                Deasita Maulani (210103130        )

Kelas                   : Penyiaran A
Tugas                  : Pengantar Ilmu Komunikasi

*      Media di Indonesia berperan sebagai watchdog (anjing penjaga) atau lapdog (anjing “peliharaan”)?
Jawab :
                “Media di Indonesia itu ada yang bersifat lapdog dan watchdog. Media di Indonesia itu bersifat lapdog karena menjadikan masyarakat segbagai objek yang hanya untuk di eksploitasi, dibohongi, dan dikendalikan oleh tayangan yang ada. Tayangan tersebut hanya berdasarkanpemilik modal alias lapdog. Sementara peran media yang ideal untuk jadi pembelajaran pendidikan agar masyarakat memiliki sikap mandiri dan mampu berpikir.”
                Dalam salah satu artikel yang saya baca, juga terdapat sebuah pendapat dari Amien Rais bahwa :

“Dalam buku terbarunya, “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia”, Amien Rais membuat sebuah pengandaian fungsi media massa ke dalam watch dog, guard dog, lap dog, circus dog dan terakhir stupid dog. Pertama, dalam fungsi watch dog (anjing pengawas), pers adalah musuh berat pemerintah, elite politik dan korporasi besar. Pers di sini membela masyarakat yang lemah dan warga terpinggirkan karena kebijakan pemerintah atau teralienasi karena cengkeraman kapitalis predator. Kedua, fungsi guard dog (anjing penjaga). Ini kebalikan dari watch dog. Pers menjadi pendukung lembaga-lembaga politik yang dominan, kelompok-kelompok ekonomi penting, dan nilai-nilai yang diterima masyarakat luas. Namun, dalam model ini, pers masih dapat mengkritik lembaga-lembaga itu terutama bila elite-nya melanggar sistem nilai yang berlaku. Pers semacam ini disebut juga pendukung status quo. Ketiga, model fungsi lap dog (anjing pangkuan). Dalam model ini, pers memproduksi berita untuk melayani kepentingan elite politik dan elite ekonomi serta membiarkan kaum miskin tetap berada di pinggiran. Sayangnya, pada umumnya media massa, redaksi bahkan para kolumnis di media informasi utama telah mengambil posisi sebagai lap dog. Bahkan, dalam konteks Indonesia, media massa lap dog sudah merasuki Indonesia sejak zaman kolonial, dan menjadi lebih parah terjadi di era Soeharto dan di era reformasi. Namun, pada era reformasi ini, pers lap dog tidak semata-mata-mata menghamba kepada pemerintah, tetapi juga kepada korporasi besar.
Persaingan media yang sangat ketat setelah keran penerbitan pers dibuka pada era pemerintahan BJ Habibie, mengakibatkan pertumbuhan media cetak dan penyiaran menjadi tidak sehat. Persaingan untuk mendapat kue iklan semakin ketat. Akibatnya, pers yang tidak kebagian jatah iklan mencari cara lain untuk merebut setetes rezeki. Ini dapat dilihat dalam kasus, misalnya, selama ini, ada pers yang menjual headline atau agenda setting untuk kepentingan korporasi atau elite tertentu. Cara ini sangat pasti diketahui pejabat teras pers tersebut dan melibatkan semua kekuatan newsroom. Media kecil lainnya (baca: hanya mengandalkan oplah) biasanya menjual iklan lewat kelemahan sebuah korporasi atau citra jelek seorang elite. Cara ini mengandalkan kelihaian personal wartawan di perusahaan pers tersebut. Selanjutnya, untuk lebih “bernilai”, pemberitaan wartawan ini dibuat dalam bentuk seolah tulisan investigasi. Wartawan akan terus mengorek citra negatif atau kelemahan korporasi atau elite hingga mereka tunduk, menyerah, dan akhirnya memasang iklan.
Kini, hampir tidak ada pers yang menolak sebuah iklan. Pers Indonesia menjadi media massa munafik. Dalam kasus Lapindo, misalnya, ia mengkritik Lapindo Brantas yang sudah dua tahun ini tidak becus menyelesaikan krisis kemanusiaan di Sidoarjo akibat lumpur, tetapi pada saat yang sama kebohongan PT Minarak Jaya yang menangani ganti rugi di Porong dimuat sebagai advertorial di media bersangkutan. Turunan dari model lap dog ini akan menghasilkan model pers circus dog (terlatih untuk memihak elite) dan terakhir stupid dog (tanpa disuruh akan menghamba kepada kapitalis, tekanan global dan penguasa). Jika hal ini terjadi, maka hancur dan tamatlah demokrasi.
Pertanyaan yang sekarang ini layak dijawab adalah seperti apakah jiwa media massa dan penyiaran Indonesia yang masih dikerangkeng oleh monopoli, dikendalikan rating dan digerogoti amnesia? Mudah-mudahan masih ada pers dan media penyiaran yang bersikap dan menganut model anjing penjaga (watch dog).”
               
Semoga penyiaran di Indonesia bisa bersikap dan menganut modek anjing penjaga ( watchdog tersebut).

Tidak ada komentar: