Kelompok :
4 ( empat )
Nama : Shinta Sharlindra
(210103130062)
Deasita Maulani (210103130 )
Kelas :
Penyiaran A
Tugas :
Pengantar Ilmu Komunikasi
Jawab :
“Media
di Indonesia itu ada yang bersifat lapdog dan watchdog. Media di Indonesia itu
bersifat lapdog karena menjadikan masyarakat segbagai objek yang hanya untuk di
eksploitasi, dibohongi, dan dikendalikan oleh tayangan yang ada. Tayangan
tersebut hanya berdasarkanpemilik modal alias lapdog. Sementara peran media
yang ideal untuk jadi pembelajaran pendidikan agar masyarakat memiliki sikap
mandiri dan mampu berpikir.”
Dalam
salah satu artikel yang saya baca, juga terdapat sebuah pendapat dari Amien
Rais bahwa :
“Dalam buku terbarunya, “Agenda
Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia”, Amien Rais membuat sebuah pengandaian
fungsi media massa ke dalam watch dog, guard dog, lap dog,
circus dog dan terakhir stupid dog. Pertama, dalam fungsi watch
dog (anjing pengawas), pers adalah musuh berat pemerintah, elite politik
dan korporasi besar. Pers di sini membela masyarakat yang lemah dan warga
terpinggirkan karena kebijakan pemerintah atau teralienasi karena cengkeraman
kapitalis predator. Kedua, fungsi guard dog (anjing penjaga). Ini
kebalikan dari watch dog. Pers menjadi pendukung lembaga-lembaga politik
yang dominan, kelompok-kelompok ekonomi penting, dan nilai-nilai yang diterima
masyarakat luas. Namun, dalam model ini, pers masih dapat mengkritik
lembaga-lembaga itu terutama bila elite-nya melanggar sistem nilai yang
berlaku. Pers semacam ini disebut juga pendukung status quo. Ketiga,
model fungsi lap dog (anjing pangkuan). Dalam model ini, pers
memproduksi berita untuk melayani kepentingan elite politik dan elite
ekonomi serta membiarkan kaum miskin tetap berada di pinggiran. Sayangnya, pada
umumnya media massa, redaksi bahkan para kolumnis di media informasi utama
telah mengambil posisi sebagai lap dog. Bahkan, dalam konteks Indonesia,
media massa lap dog sudah merasuki Indonesia sejak zaman kolonial, dan
menjadi lebih parah terjadi di era Soeharto dan di era reformasi. Namun, pada
era reformasi ini, pers lap dog tidak semata-mata-mata menghamba kepada
pemerintah, tetapi juga kepada korporasi besar.
Persaingan
media yang sangat ketat setelah keran penerbitan pers dibuka pada era
pemerintahan BJ Habibie, mengakibatkan pertumbuhan media cetak dan penyiaran
menjadi tidak sehat. Persaingan untuk mendapat kue iklan semakin ketat.
Akibatnya, pers yang tidak kebagian jatah iklan mencari cara lain untuk merebut
setetes rezeki. Ini dapat dilihat dalam kasus, misalnya, selama ini, ada pers
yang menjual headline atau agenda setting untuk kepentingan
korporasi atau elite tertentu. Cara ini sangat pasti diketahui pejabat teras
pers tersebut dan melibatkan semua kekuatan newsroom. Media kecil
lainnya (baca: hanya mengandalkan oplah) biasanya menjual iklan lewat kelemahan
sebuah korporasi atau citra jelek seorang elite. Cara ini mengandalkan
kelihaian personal wartawan di perusahaan pers tersebut. Selanjutnya, untuk
lebih “bernilai”, pemberitaan wartawan ini dibuat dalam bentuk seolah tulisan
investigasi. Wartawan akan terus mengorek citra negatif atau kelemahan korporasi
atau elite hingga mereka tunduk, menyerah, dan akhirnya memasang
iklan.
Kini,
hampir tidak ada pers yang menolak sebuah iklan. Pers Indonesia menjadi media
massa munafik. Dalam kasus Lapindo, misalnya, ia mengkritik Lapindo Brantas
yang sudah dua tahun ini tidak becus menyelesaikan krisis kemanusiaan di
Sidoarjo akibat lumpur, tetapi pada saat yang sama kebohongan PT Minarak Jaya
yang menangani ganti rugi di Porong dimuat sebagai advertorial di media
bersangkutan. Turunan dari model lap dog ini akan menghasilkan model
pers circus dog (terlatih untuk memihak elite) dan terakhir stupid
dog (tanpa disuruh akan menghamba kepada kapitalis, tekanan global
dan penguasa). Jika hal ini terjadi, maka hancur dan tamatlah demokrasi.
Pertanyaan yang sekarang
ini layak dijawab adalah seperti apakah jiwa media massa dan penyiaran
Indonesia yang masih dikerangkeng oleh monopoli, dikendalikan rating dan
digerogoti amnesia? Mudah-mudahan masih ada pers dan media penyiaran yang
bersikap dan menganut model anjing penjaga (watch dog).”
Semoga
penyiaran di Indonesia bisa bersikap dan menganut modek anjing penjaga (
watchdog tersebut).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar